Senin, 22 Maret 2010

Koreng Seorang Bawahan


Pada kalbu yang lelah mencari nyala untuk mengikat lesu,
seorang di bangku atas mulai mencabik lukamu pagipagi,
esok giliran kawanmu yang kuyu. Siap berbaris.

Suaranya riuh menyumpal telinga yang mulai bernanah
hampir di setiap dentuman dua per tiga harimu. Tak jarang dari kerongkongannya
menyembur keluar segala sampah berbau busuk siap dikerubungi lalat hijau kemayu.
Kau benci pada baunya yang setiap saat suntiksuntik bawah sadarmu yang mulai memuncak. Tak sanggup terkunyah dalam keringat hambar tak berbuih.

Ada saatnya. Kawankawanan mabuk saling memuntahkan segala kotoran dalam parit kemelaratan yang tersimpan membusuk, jatuh dalam pelukan ketakberdayaan, lalu digiling lagi jadi makanan sebagai santap makan malam di pesta penuh luka.
Ada kalanya. Sisanya kau bawa pulang dan kau bagi bersama anak dan istri bermata sayu. Bawa berlembar kertas pengharapan yang lusuh lembab oleh dinginnya kabut malam yang titik airnya telah ditujukan bagimu.

Oh, tidak.
Tak mampu kau lawan itu, karna lidahnya akan segera menjulurkan api pemecatan bagi siapapun yang berani berpaling. Berkalikali lagi, kau terseret dalam arusnya. Dalam kepalan tangannya, hatimu mendesah kelu,

“Ah, nasibku, terpaksa aku titipkan…”


2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar