Jumat, 19 Oktober 2012

Jauh Cinta

tempat tempat pertemuan kita, sayang
kulewati lalu menjadi api
lebih erat lebih dekat lagi
kujaga di dada sekuat dekap tangan

lihat, namamu tinggal di sana
menghuni batin dan menghanguskan apa saja
yang pernah ada sebelumnya

bara telah mengembara
mendidihkan kata kata yang kugilai
dari pelukan pahit tercipta
santap segar di perjamuan
dan sepasang tubuh enggan beranjak

bertahanlah, karena aku sulit bosan
bahkan ketika kau ulang dan ulangi
sejumlah kepedihan dari sepi diri
yang kita tukar dengan angan angan

bila kau mulai kesulitan menatap wajahku,
tusukkanlah setiap air mata ke semua pakaian yang kau kenakan,
bahkan yang paling tak kau suka sekalipun
lalu lemparkanlah ke ujung langit dimana tubuhku telah terperangkap
untuk mencecap hujan yang datang di kemarau

kecemasan menyeretku ke tubir masa
kenangan yang tak pernah kusesali




12Sept12

Lebih Baik untuk Deka

: Deka

Lebih baik
aku duduk diam di sini
mengupasi usiamu yang masih jauh dari senja
yang sejak lama diam diam kugantungkan
di tangkai pilu sambil mengendap endap
agar aku tak cepat menuju ke sana
dalam cemas.

Lebih baik
aku duduk diam di sini
menjauhkan senja dari belia usia
yang sejak lama diam diam kulakukan
agar ia tak menghanguskan kulit lembut
yang melindungi keceriaanmu sebagai salut
lalu kalut.

Lebih baik,
aku bergerak ke sana
melepasi pakaian dan memandikan ulang tahunmu
sambil diam diam mengusap doa di keningmu
agar harapan membasahi pagi
tanpa harus mengusir senja
dalam syukur
lalu berserah.

Maka, lebih baik
aku duduk diam dengan mata
bergerak gerak mengawasi nasib
yang dikucurkan tiap perjalananmu.

Betapa usia yang tumpah sedikit demi sedikit
adalah bekal kekuatan untukmu, sayang
sampai sepanjang masa
agar kau sanggup, kelak
mengangkat senja
dengan bangga, dan berani.


31Ags12

Di Ruang Tunggu


hari minim kabar
gadis baru datang
ke hatimu yang bulat
oleh cinta yang kekang
sebab bertekad tak lekang

bahasa tubuh, ya
bahasa tubuh basah
di gambar gambar tawa
merapatkan kau
rapatlah ia

hari hari aku berjuang
merapatkan bibir
mengatupkan rahang
melawan sakit
lagi


18Ags12

Hari yang Patah Berjalan


Kepadamu, yang ingin sendiri. Tapi. Menolak kesepian.

Ada risau di hari anak. Kemana kau, batang tubuh yang lelap dan lenyap? Yang. Sempat membantuku dan Tuhan melancarkan ide gila dari sebuah kesepian? Lalu. Kita bersekutu masuk dan menggoda jalan lahir milikku. Kalian goncang-goncangkan, hingga aku kegelian. Tertawa-tawa kita, mencipta embrio.

Aku tak butuh Tuhan, hanya kau. Namun. Setelah hari kelahiran, kau ikut menjelma Tuhan. Meminta kami merasakanmu. Cukup. Lewat angin yang membelai rambut. Mendinginkan leher. Mengeringkan keringat dan airmata. Juga. Menerbangkan topi anak kita. Hilang.

Aku mencarinya setiap hari, kelabakan. Atas usulan rengekan deras dan keras. Terkadang. Memotong sumbu kesabaran. Terus. Mencekik leherku. Terus. Memukul dadaku. Sesak panjang di hari yang patah. Terus. Berjalan.

Perlu kau ketahui. Kuterapi diriku sendiri, agar aku menjaga jarak dengan kematian paksa. Agar kukuh. Bersetia membasuh ketenangan, di tubuh gadis kecil kita. Dan. Berupaya kucegah amarah kecewa sesah tumpang tindih. Atau. Setidaknya, api tak cepat menyambar benda-benda sekitarnya, lalu berkobar besar. Aku. Pilih menembak jiwaku dengan salju.

Kalian.Tuhan dan engkau. Mengapa bersekutu, mencintai kami? Hanya.

Dari kejauhan.


23Juli12

Senin, 20 Agustus 2012

Puisi Bagi Perempuanku

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
demi ambisi kekayaan dan kekuasaan
atau popularitas dan kehormatan

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
padahal ia, masih bisa memilih
mau tidur atau berdiri

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
kepada uang lelaki lelaki wangi
di ranjang ranjang mewah tanpa derit

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
agar eksis tampil di tivi
bagai bintang selebritis

tidak

puisiku untuk para perempuanku
yang dipaksa lalu terpaksa
membantu negara dengan lendir murka
karena telah dimiskinkan negaraku

mereka yang selalu tersiksa oleh kejatuhannya
di setiap malam-malam penuh peju peluh
tapi hidup harus berjalan meski bukan (di) jalanannya
ya, lebih baik daripada hidup penuh kelu keluh

mereka yang pergi diantar para suami
lalu sesampainya di rumah, dihajar karena cemburu
mereka yang pergi dihantar ayahbunda
lalu sesampainya di rumah, tersedu jiwa hancur

sungguh terpaksa jual diri, di lapak-lapak kumuh
layani lelaki penuh penyakit dan miskin bau
di atas papan-papan selebar peti jenasah
dan menyewa kardus sebagai alasnya

o, demi Tuhan

aku hanya punya puisi
dan masih kesulitan
membuat bangsa ini membelamu
sebagai ibu bermartabat
karena tak menagih janji negara
yang telah lalai
atas nasib buruk
rakyatnya


Semarang, 2012

Hutang Budi Ibu


Belahlah aku ibumu,
ibu yang tak sempurna.
Belalah hakmu, anakku
anak yang selalu sempurna,
di mata ibu
di mata ibu.

Bukan kau, tapi Ibu
yang hutang budi
di dunia ini
lahirkanmu adalah
kutukan pertama kehidupan
yang bagimu, kuberikan.

Maaf, maafkan ibu
bila dunia, tak bisa kujanjikan keindahannya
tak sanggup kutagih kekuatannya untukmu
agar kau dapat melawan balik,
atau setidaknya berjalan bersama
tapi malah,
kesemuanya bagimu, jadi
terlalu memerahperihkan. Maka.
Maafkan Ibu.

Nak, bila kau pilih
jalani hidup sebagaimana adanya
tanpa ingin sengaja mengakhirinya di tanganmu sendiri
meski rusak, luka kelam, terselip tak terperi
ketahuilah,
saat itu hutang budi Ibu mulai terlunasi
berkat semangat memanggul hidup
yang nyasar.


Semarang, 2012

Lobi Lobi Laba Laba


Bibir kita berpelukan
mata mata redup
seperti keasyikan menyeruput kopi panas
dari cangkir tanpa diseduh.

Ini malam gelapku, bukan gelapmu
dan tanganmu rakus menjarah
tubuh ringkih. Gerayangi sarang,
aku binal karna amarah.

Andai saja,

kutemukan cara bersih keluar dari belenggu negeri
dengan tidak melayani
nafsubejat pejabat negeri
tentu akan mudah
melepaskan bibir-bibir ini
dari penguasa sepertimu.


Semarang, 2012

Dari Lelaki Aku Belajar


Aku belajar dari lelaki
luweskan rasa luaskan pikir
bagaimana cinta dan nafsu berpisah tebing
dan tubuh yang telanjang hanya perlu dinikmati.

Aku belajar dari lelaki
bagaimana kaumku bertarung otakhatinya
antar akal dan rasa,
dan lelaki selalu menang dengan akalotaknya.

Aku belajar dari lelaki
bahwa luka adalah dendam
seperti kemiskinan yang menginjak
harga sebuah diri
harus disangkal dan diasingkan
naluri bertahan hidup ada disana
daya tawar luar biasa.

Aku belajar dari lelaki
betapa arogansi telah menahan air mata
turun dan jatuh ke dada
menuding kelemahan
yang tak boleh ada.


Semarang, 2012

Jarak Kebebasan Ibu


Hidup itu pilihan,
namun tidak untuk Ibu.

Sayap-sayapnya hanya mampu
menerbangkan ibu
setinggi rantai yang
terikat di kakinya.


Semarang, 2012

Emansipasi Semu


Seperti si putri 
yang ngotot kencing berdiri
agar sama setara
dengan si putra,

atau seorang anak
yang ngotot berteriak, “Itu Bapak!”
pada artis di layar kaca
hanya karena sama berkaca mata.

Demikian seringnya saya
terjebak pada kebaya
‘Kartini’ separuh baya
keliru berpegang pada yang maya.


Semarang, 2012


Pasar Neraka Merdeka


Jika datang ke negeriku, Tuan.
Jangan lupa mampir ke pasar
Pasar Neraka Merdeka namanya
tempat rakyat gadaikan kejujuran
karna negara mulai lupa
pada nasib negeri yang perlu digarap
dengan sergap
dan tanggap
segera sigap
segera siap
segera!
Mana?

Disana ada penguasa membunuh penguasa,
penguasa membunuh rakyat
ada rakyat membunuh rakyat
dengan sepenuh senyum dan tawa
perlahan tanpa beban
atau rasa bersalah.

Nurani pergi subuhsubuh tinggalkan pasar.
Untung dan laba jadi sumber kehidupan.

Petani dan pengusaha takut
makan makanan dari hasil ladangnya sendiri
yang telah mereka dagangkan dalam pasar
selamat tinggal nurani kalut.

Ada borak dan rhodamin
sakarin, melamin, dan formalin
atau bahan berbahaya lainnya
tersaji di meja makan kami
diam-diam mengendap memenggal nyawa.

Lewat bahan makanan, Tuan
kami terbunuh perlahan
kesadaran merayap pilu
terbiasa berpasrah keliru.

Maka, Tuan.
Bila mau bertahan hidup di negeri begini,
makanlah saja untuk mati.


Semarang, 2012

Jumat, 23 Maret 2012

Bingung Pagi Pagi

Anakanak bingung,
siapa orang tuanya?
Ibu, atau
ibunya ibu.

Seorang ibu bingung,
siapa dirinya?
orang tua, atau
seorang anak.

Bapak?
Berserakan dikejutkan oleh waktu,
menyingkir dalam dalam. Ambigu. Dilema.
Teriakan teriakan. Gaduh tak tentu arah
yang bingung.
Bikin linglung. Lalu limbung.
Pagi pagi pilih pergi.
Dini dini lipat layar kemudi.

Sebab seorang ibu telah lama memilih bunuh diri,
minum racun ibunya,
mati.

Rumah bukan lagi ruang,
tak ada alasan pulang.


Semarang,23Maret12

Jumat, 16 Maret 2012

Batu Doa

Tidakkah Kau lihat aku,
tengah menutup kedua telingaku
dan mengatupkan mata rekat rekat
sambil menggelengkan kepalaku kuat kuat

tanda,

aku tak mengerti semua ini
dan aku lelah melangkah
ke jalan yang dulu telah Kau siapkan
bagi kelahiranku yang Kau kehendaki.

O, Han...


Semarang, 7Maret12

Minggu, 26 Februari 2012

Menikam Cekam


Tuhan, angkatlah kepalaMu

ke arah sunyi hati

tidakkah aku terlalu tinggi

berada jauh di atasMu?


Semarang, 21peb12

Setelah Kutenggak Sebotol Puisi

:Puisi Dina Oktavia (rumah rumah bayangan)

Semalaman kugenggam sebotol puisi yang sudah kosong. Sayang, aku belum juga mabuk. Enam puluh empat sloki masih sanggup kuhitung. Kukumpulkan gelasnya seakan aku maniak puisi. Hampir tiap dentingnya mengayunkan luka di kepalaku. Bagaimana bisa perangkap ini ada padaku, halo??

Gempa bunyi mengguncang sinar pagi, ini Minggu, hari untuk Tuhanmu!

Liturgi gereja menjadi hal yang amat mekanis. Seiring kotbah Pastor pada jemaatnya, berangkat pula pikiranku menilik penjara-penjara yang hendak kudobrak dengan angin kencang. Malam telah memanaskan mataku yang terjaga, tapi bukan kantuk yang menyerang konsentrasiku. Aku seperti penderita ADD (Attention Deficit Disorder) tanpa Ritalin. Menipu orang dengan sikap diam penuh perhatian, sementara imajiku selalu pulang ke palung surga. Ya, palung surga yang kutemui sejak kanak-kanak.

Para lelaki telah mencangkok otaknya dengan laptop keparat. Membedaki wajahnya dengan kertas kerja. Semua setelah mereka memohon padaku, agar kutelanjangi sebuah patung peraga dengan tanganku, lalu mereka pergi, membiarkannya menggigil. Aku terlantar di mimpi-mimpi.

Atau mungkin aku tak lagi kekasih, sejak sepakat bersama. Aku terlalu ingin tahu, antara beban dan semangat, dimana aku didudukkan. Aku begitu egois, untuk pahami bahwa semua itu bukan akar persoalan.

Emosi bagai dongengan tak tepat diksi. Kita dalam jebakan keliru tafsir. Makin parah dengan serapah. Air mata berserakan di antara huruf-hurufnya. Aku terlantar di rindu-rindu.

Siapa hendak minum bersamaku.
Lagi.
Sebotol puisi yang sama
Lagi.
Bersama aku.

Aku butuh mabuk.

Kesadaran selalu menyeretku ke sebuah kapel di desa kecil. Betapa menggiurkannya simpul tambang yang mengikat sebuah lonceng besar. Ia mengelus leherku yang sunyi. Air liurnya siap menaikturunkan tubuhku seiring gema lonceng tanda doa-doa segera dinaikkan.

Aku diam-diam terlukai terkulai. Pulang ke palung surgaku.

Misa selesai.

Sepertinya tadi aku ikut bernyanyi, dan saling memberi salam damai. Sepertinya aku berjalan untuk sambut komuni. Sepertinya aku mengunyah hosti itu tadi. Sepertinya aku masih selalu cemberut, karena tak kebagian anggur. Sepertinya juga, anakku sempat merengek mencium pipiku. Semua rentetan adegan sayup-sayup berseliweran, acak. Tulang tengkorak terpelanting, pening.

Sebotol puisi semalam, telah membuat mabuk patung peraga.

Di rumah Tuhan, aku memuja kesendirian.


Semarang,5feb12

Rosario

: Mpok Mercy Sitanggang


Terasa dingin di ujung jari,
sentuh butir-butir rosario,
sentak sadari
telah kugenggam roh
punyamu, ini.

Ini seperti pusaka
yang kau wariskan pada
seorang asing yang kau jumpa
di tengah perjalanan
menuju Emaus kita.

Aku raba tiap butir batu
mawar air mata
bulir kehidupan
galau tawa
sukadukacita
getir keramaian
mahkota duri
piala kesepian
cawan kosong
uap anggur
pecah roti
tapi bukan, ciuman Yudas.
Ya. Bukan.

Demikian lama aku kehilangan ibu,
lalu kuhilang-hilangkan semua ibu
dalam hidup, yang bugil kacau.
Kau tarik tanganpetangpedangku,
kau paksa ia masuk ke genggamku,
serahkan padaku kisah yang kau
kawani selama ini,
segala mewujud kalungdoa
layu jatuh tak pantas,
bisa apa aku?

Ini serupa nyawa, sulit kubiarkan.
Mata minta aku merawatnya.
Pelukan percaya.
Sekuat-kuat ucapan,
kerelaan tak terperikan.

Bisa apa aku?

Katamu masih ada ibu,
selain ibu dari jari yang tuntun aku
merangkak pelan menuju
berbutir butir batu
cairkan gelap
terangkan pengap
kuketuk ketuk
tanpa amuk tiada kantuk
untuk
tabah rebah di dada Ibu,

Maria.


Semarang,24Jan12

Sabtu, 04 Februari 2012

Cuaca Malam Minggu

cinta tak pernah salah
sayang,
tak selalu tepat

cinta selalu tepat
sayang,
pernah salah

datang


Semarang, 05Peb12

Kamis, 05 Januari 2012

Nyali Api, Nyala!!
: Sondang Hutagalung

Dilarikan dari kerumunan,
tubuh berpindah pindah
tergesa
masuk mobil
keluar
lorong rumah sakit
menuju hiruk pikuk
dan sibuk
dalam unit gawat darurat.

Cairan entah
siram sirami
luka bakar
di  wajahtubuh.
Ujung pinset
mengelupaskan
lepuh dari kulit
perlahan
sesayat demi sesayat
giris perih
mendekap mata.

Ah, hanya luka bakar ringan,
dari sebuah kecelakaan,
di masa lewat.
Jauh,
tingkat luka
jauh dari sembilan puluh delapan persen, 
dan nyali ini begitu ciut,
sekuatnya ingin kulupa.

Namun ingatan selalu kembali,
pada lukabakar lukabakar massal
lewat tragedi Bom Bali.
Lewat musim ledakan tabung gas
membakar tubuh keluarga kelas bawah.

Tiba-tiba, berdiri di atas negeri
seorang anaknya membakar diri
detik detik api panaskan tubuh
sakit itu perlahan datangnya,
dan aku tak diijinkan lupa!

Kisah perjuangan yang timpang
mestinya sanggup membawa jiwa jiwa
ikut membara
merebut ruang
bagi keadilan.
Meski hanya kita lemparkan
beberapa ikat rambutan
tanpa lewat diskusi diskusi panjang,
ke tubuh perjuangan,
atau membuat sekedar sajak
meski tak sebaik karya Taufiq Ismail,
setidaknya kita berani peduli
kemana mesti berpihak.

Nyali api, nyala!
Nyali api, nyala!!
Mungkin belum untuk revolusi
atau ciptakan gelombang besar
paling tidak
semua orang sontak keluar
dari ruang-ruang nyaman
dari ruang-ruang aman
dan kita rebut sedikit ruang
untuk melawan lupa!

 
Semarang, 15Des11
Puisi

Aku mendongak menatap langit
segambar bibir nyembul keluar
dari dalam riuh awan
yang abu bergumpal gumpal.

Ia mengecupku sejuk sekejap
lalu pergi, hilang.
Masuk
kembali ke belantara awan,
senyap.

Tanpa kata,
atau suara,
dan

waktu
terhenti
seketika.


Semarang, 10Nop11
Bertahanlah, Cinta
: Grim


Aku mencintaimu, takdir
tanpa syarat
tanpa syarat.

Akan kutiduri engkau
sepenuh cinta
sepenuh penuh cinta.

Meski.

Aku masih saja,
rapuh merabai
soal cinta
tanpa sempurna.


Semarang, 8Nop11