aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
demi ambisi kekayaan dan kekuasaan
atau popularitas dan kehormatan
aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
padahal ia, masih bisa memilih
mau tidur atau berdiri
aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
kepada uang lelaki lelaki wangi
di ranjang ranjang mewah tanpa derit
aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
agar eksis tampil di tivi
bagai bintang selebritis
tidak
puisiku untuk para perempuanku
yang dipaksa lalu terpaksa
membantu negara dengan lendir murka
karena telah dimiskinkan negaraku
mereka yang selalu tersiksa oleh kejatuhannya
di setiap malam-malam penuh peju peluh
tapi hidup harus berjalan meski bukan (di) jalanannya
ya, lebih baik daripada hidup penuh kelu keluh
mereka yang pergi diantar para suami
lalu sesampainya di rumah, dihajar karena cemburu
mereka yang pergi dihantar ayahbunda
lalu sesampainya di rumah, tersedu jiwa hancur
sungguh terpaksa jual diri, di lapak-lapak kumuh
layani lelaki penuh penyakit dan miskin bau
di atas papan-papan selebar peti jenasah
dan menyewa kardus sebagai alasnya
o, demi Tuhan
aku hanya punya puisi
dan masih kesulitan
membuat bangsa ini membelamu
sebagai ibu bermartabat
karena tak menagih janji negara
yang telah lalai
atas nasib buruk
rakyatnya
Semarang, 2012
Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Perempuan. Tampilkan semua postingan
Senin, 20 Agustus 2012
Jarak Kebebasan Ibu
Hidup itu pilihan,
namun tidak untuk Ibu.
Sayap-sayapnya hanya mampu
menerbangkan ibu
setinggi rantai yang
terikat di kakinya.
Semarang, 2012
Emansipasi Semu
Seperti si putri
yang ngotot kencing berdiri
agar sama setara
dengan si putra,
atau seorang anak
yang ngotot berteriak, “Itu Bapak!”
pada artis di layar kaca
hanya karena sama berkaca mata.
Demikian seringnya saya
terjebak pada kebaya
‘Kartini’ separuh baya
keliru berpegang pada yang maya.
Semarang, 2012
Kamis, 20 Januari 2011
Perempuan Yang Terlupa
: Sipon
Mungkin terlalu enak dan nyaman,
hidup saya
oleh tumbangnya penguasa lama.
Lalu tutup mata pada penguasa baru
yang nyatanya serupa.
Seperti kekaguman pada keberanian Wiji Thukul,
tanpa maksud ikut
(karna takut)
untuk berjalan di atas kisah hidupnya,
saya
hanya setuju pada yang betul.
(Sementara saya lupa).
Ada tangis dan jerit
seteguh roda mesin jahit,
ganti jadi kepalakeluarga.
Biar anakanak terus terurus
dengan becus.
Mungkin juga ribuan kali ada,
kau
sendiri
kacau,
meneriakinya.
Keluarlah.
Keluarlah dari dalam kabut yang datang di cuaca tak lazim.
Keluarlah
Keluarlah dari gua sejarah yang dibungkam dengan paksa.
Betapa saya, belajar
soal perjuangan menolak lupa,
sehingga jiwa dihajar
bangkit jadi manusia (perempuan).
Kepadamu.
Saya malu di banyak waktu.
Betapa kuatnya kau peluk
puisipuisi yang telah mengasapkan suamimu.
semarang,6jan11
Senin, 12 April 2010
Dilema Percintaan
Mestinya bangga,
ada nafsu ditindas
tadi malam.
Mestinya senang,
seorang lelaki melata
sedekat tanah.
Mestinya lega,
gulita malam
tercekik lampu pijar.
Masih saja,
perempuan meratapi
sempak kekasih
yang hilang tergesa
tanpa pesan.
2010
Langganan:
Postingan (Atom)