Rabu, 10 Juni 2009

Gandrung

teruntuk Ipung


Rinduku keterlaluan padanya hari ini.. jiwanya begitu memukaukan bahagiaku,.. hingga dentuman kerinduan ini tak dapat kumatikan detaknya. Sangat. Aku rindu pada wajah beningnya,… tak pernah terlewatkan satupun bagian dari diri dan hidupnya yang kurindukan. Letupan cahaya ini mengandung harapan, bahwa esok tak ada luka yang tak terbalut.

Sayangku. Disana kau menggengam sukma kecintaanku. Kau rengkuh segala darah kerinduan ini untuk kau peluk. Aku tak dapat lagi palingkan ragaku dari matamu yang lembut tenang. Bibirmu hanya dapat kusapu melalui angan. Bahkan ketika cinta ini berteriak minta dipertemukan. Aku kewalahan menutup mata hasratku yang ingin segera mengakhiri perpisahan ini ..

Beri aku angan untuk temukan kau disana, aku sangat takut kau sendiri dan sepi.
Beri aku angan untuk menciummu, aku sangat takut bibirmu menjadi dingin dan kering.
Beri aku angan untuk memelukmu, aku sangat takut kepedihan menjamur pada pundakmu.
Beri aku angan untuk bercengkerama denganmu, aku sangat takut pikiran dalam rasamu hancur tak mengalir.

Sudah. Hanya kau, sayangku. Kuputuskan hidup pada wajah hangat milikmu. Kata-katamu yang tampan, pancaran kasihmu yang manis, kenakalanmu yang baik hati, candamu yang tak pernah kecewa, keluguanmu yang tulus, …. Tak kan pernah tergantikan, bahkan oleh siapapun…

Kala kini. rinduku jadimenjadi. Padamu. Hanya.


Semarang-2004

Lukisan Lugu

untuk seorang teman, obat stress manusia


marahmu terbungkus oleh senyum
yang kau tebarkan pada langit sunyi
peranmu tak kentara, tapi terasa hangatnya
kau adalah satu titik dalam sebuah garis,
dan satu garis dalam goresan gambar.

tanpamu,
garis dan gambar tetap ada, tapi
tiada sempurna indahnya.


Rintik Semarang, kafe daun, 1997

Kau dan Kekasih

(pada ibadat pemakaman bapak sobat kita, wulan)


kita bertemu, kau dan kekasihmu,
dan diriku,
dan deretan kawan sejiwa
berboncengan membelah malam gulita
menuju rumah sahabat sedang
muram memeluk air mata
yang sebagian telah ditabur bagi ayahanda
di atas kuburnya, siang tadi

malam ini, aku hanya melihat
kau dan kekasihmu
sangat sunyi, hanya ada warna biru yang dingin
bahkan ibadat duka cita ini,
lebih ramai dentingnya
lebih mesra hangatnya

seperti waktu yang sudahsudah, pada tiaptiap babak
yang menjebak pertemuan kita
kau dan kekasihmu,
sangat sunyi, hanya ada warna biru
dingin
setipis angin batasan itu terbaca
antara kau dan kekasih


Ungaran murung, Selasa, 31 Oktober 2000

Kenangan

(memory of kafe daun.)


masih kugenggam sebutir hujan itu
yang kusimpan dari kilauan masa lalu
saksi penggalan cerita manis lucu
sehangat kopi susu
mengalir mulus diantara bibirbibir pelanggan kafe kita

kala itu, kita hanya ingin
meletakkan tangan di ketiak kehidupan
rasakan alirannya, deras merengkuh dada kita
kadang jadi sesak dan kesakitan, payah
mencari arti dari bekerja
seperti menu masakan yang hendak kita racik
bergulat mencari selera, apa jua kita tlah coba

ah,
hasrat tak bernama
marah tak bertuan
tangis tak bermata
bahagia tak terkata

kita telah cicipi satupersatu, warna kita masingmasing
hati yang beradu dalam cinta yang menyendiri
inilah irama lagu kita

dan, jika akhirnya kita berkumpul
bicara tentang perpisahan
tuk tempuh hidup masingmasing
berpencar ke segala arah mata angin,
aku tak salahkan apapun

dulu kita masih lugu
bagai separuh bait lagu
belum tahu arti perjalanan

untung aku masih menyimpannya
sebutir bening hujan masa itu
yang kucuri dari Tuhan, agar kudapat puas
memandanginya dalam rindu yang haru
pada segala masa
kapanpun, semau warna hati.



Semarang - 2004

Sang Hidup


tak terkata. kesulitanku melilit bibir yang mengikat kuatnya beku tak terkunyah bahkan dalam ribuan pasir yang Kau terangi sudah


tak teraba. kesulitanku menggenggam puluhan jemari mengukur doa tak tersobek bahkan dalam ribuan jurang yang Kau selami sungguh


tak ada. apapun dapat kuungkap tentangMu


Oh,

embun yang tertusuk cahaya karena telah mencubit matahari dengan gemas;

dedaunan dipersimpangan yang berputar dalam pelukan angin yang mencumbu mesra seayun merdu lagu;

pelangi di sudut bibir mereka yang kucinta menceracap dalam pilu yang bahagia menjadi jerami bagi alas kehidupan;

segala yang tlah terbalut kabut kemilau sejak sekeping cinta bersentuhan pada gundahku yang tersenyum…


Ah.

manakah yang Engkau


……ada satu,

airmata dari hasratku. sanggup merekam tentangMu dalam ribuan nafas di ribuan waktu, karna ia yang paling jujur, tak terkekang.


Semarang, 2004