Tampilkan postingan dengan label Tanah Air. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanah Air. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Agustus 2012

Lobi Lobi Laba Laba


Bibir kita berpelukan
mata mata redup
seperti keasyikan menyeruput kopi panas
dari cangkir tanpa diseduh.

Ini malam gelapku, bukan gelapmu
dan tanganmu rakus menjarah
tubuh ringkih. Gerayangi sarang,
aku binal karna amarah.

Andai saja,

kutemukan cara bersih keluar dari belenggu negeri
dengan tidak melayani
nafsubejat pejabat negeri
tentu akan mudah
melepaskan bibir-bibir ini
dari penguasa sepertimu.


Semarang, 2012

Pasar Neraka Merdeka


Jika datang ke negeriku, Tuan.
Jangan lupa mampir ke pasar
Pasar Neraka Merdeka namanya
tempat rakyat gadaikan kejujuran
karna negara mulai lupa
pada nasib negeri yang perlu digarap
dengan sergap
dan tanggap
segera sigap
segera siap
segera!
Mana?

Disana ada penguasa membunuh penguasa,
penguasa membunuh rakyat
ada rakyat membunuh rakyat
dengan sepenuh senyum dan tawa
perlahan tanpa beban
atau rasa bersalah.

Nurani pergi subuhsubuh tinggalkan pasar.
Untung dan laba jadi sumber kehidupan.

Petani dan pengusaha takut
makan makanan dari hasil ladangnya sendiri
yang telah mereka dagangkan dalam pasar
selamat tinggal nurani kalut.

Ada borak dan rhodamin
sakarin, melamin, dan formalin
atau bahan berbahaya lainnya
tersaji di meja makan kami
diam-diam mengendap memenggal nyawa.

Lewat bahan makanan, Tuan
kami terbunuh perlahan
kesadaran merayap pilu
terbiasa berpasrah keliru.

Maka, Tuan.
Bila mau bertahan hidup di negeri begini,
makanlah saja untuk mati.


Semarang, 2012

Selasa, 16 Agustus 2011

Ambiguitas Kebebasan



Letuplah

marah

seperti

berkentut

tanpa malu.



Ini negeri ngeri.


03Agustus2011

Selasa, 23 Maret 2010

Rekonsiliasi


perhatikan petaka yang sudah kalian ukir atas hidup kami :

setelah dengan congkaknya kalian rampas tanah kelahiran kami
juga kalian bunuh serentak leluhur yang melahirkan kami
tak luput bayibayi kecintaan kami yang baru lahir
juga belum puas kalian perkosa jalan lahir kami

kami hidup dalam kubangan luka menganga
tak habis dimakan usia

kini,
tanyakan pada semua orang suci milik kalian
setelah semua ini
bagaimana cara kami

mengampuni yang tak terampuni


2009

Senin, 22 Maret 2010

Ini Tanah Milik Kami


Lalu,
kalian duduk pada batu negeri kami, dalam keseragaman yang mempesona, berpendar bintang kepahlawanan dari tempatmu berasal.

Lalu,
cakrawala berduri bagi bumi yang terpijak gelayuti ruang kosongku. Matademimata menghunjam lekas dan kuat, caricari air dalam mata kami yang puas kau teguk setiap waktu penuhi hausmu segera.

Mengapa hanya ada satu rentetan teriakan yang kau torehkan bersama desingan peluru gila, “ Serang. Serbu. Bunuh. Hajar sampai mati!” dan kau tentukan kematian dalam genggaman tanganmu yang berjari doa?
Kau gesek segala nyawa yang tak selalu musuh. Dan. Sungguhkah musuh adalah musuh, jika dari dirinya terbayang wajah ketakutan yang guratan apinya persis seperti punyamu.

Tapi tenagamu masih juga kau uji tuk akrabi tanah yang meronta kau peluk. Sesungguhnya kau tahu, bahwa kekuasaanmu hanyalah demi lariklarik puisi pucat bertabur kemilau intan berminyak, yang kau ungkap dalam lariklarik puisi doa dan kehidupan.

Oh, tanah negeri kami.
Lihatlah, ia selalu berlarian memburu dada kami yang mulai hangus oleh kuatnya cinta. Dalam kebersamaan, kami saling berpelukan, bercengkerama dalam candanya yang hijau, dan segala wajah kami menjadi cokelat keemasan ditimpa akar kerinduan.

Biarkan kuikat raga dalam timbunan tangisnya yang mengikat petir.
Ini tanah memang milik kami.


2004

Tanah Tumpah Darah


manakah mungkin
aku mencari sehelai nafas pada tanah berbangkai pilu
sedang menatapnya, tak ada beda dari menciumi darah leluhur
ketukketuk kuat nyala kepala pada ingatan yang dingin
ketika angin bergigi tajam cabuli tubuh, robek kesucian
hapus lekas jiwa yang bergentayangan, masih mencari
jati diri yang belum usai, bertahan tuk satu genangan
tanah air yang anyir
sarat gundukan cintalukadendam, membengkak
oleh pukulan api tajam bertubi, hingga puas tentukan
tumpahan darah, yang tandai tanahku, atau
tanahnya, atau
tanahmu,

mengapa tidak tanah kita.


2004

Rabu, 03 Februari 2010

Air Mata Kita

*

Air mata yang terbit di mata kita,
nyatanya tak lahir dari jiwa damai bahagia.

Pada negeri yang terlanjur lapuk oleh kemelaratan,
ia menangis.

Pada negeri yang lelah oleh kebohongan
ia meradang.

Pada negeri yang keadilannya sempoyongan
ia membeku.

Pada negeri yang panas oleh terik jiwa
ia mendidih.

Mana air matamu, wahai.
Mari kita kumpulkan, dalam kantong luka
duka
murka.

Sejatinya, tangis kita untuk mana?

Untuk
yang kehilangan air mata
kerakyatannya.


Peb10.Semarang