Tampilkan postingan dengan label Sobat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sobat. Tampilkan semua postingan
Senin, 13 Desember 2010
Untukmu, Hari Ini
: Dahlia Pane
Ingin sekali celupkan diri, dalam pupil mata Tuhan
biar jadilah milikku segala penglihatan.
Aku hanya ingin menghitung berapa duka lagi
harus kau hadapi tanpa diratapi.
Lalu segera kusiapkan pasukan tuk menumpasnya tuntas
agar lapanglah jalan dan ringan langkahmu
semilir seperti angin lari telanjang kemana suka
selanjutnya tinggal tawa paling bahagia paling merdeka.
Lihatlah betapa ingin berkuasanya diriku
atas warisan luka yang menimpamu, lalu
kutebang takut tumbangkan kalut hatimu.
Sungguh mustahil dan terbatasnya diri. Aku tak bisa
jadi manusia pelindung sedang tanpa kau sadar
kerudung putihmu terbingkai doa doa kudus,
telah lama jadi payung pelindung bagi tubuh
mu, ku, dan mereka yang seperti kita punya kisah.
Adakah
dewasa jadi getar masalah,
padahal manusia punya masa?
Bukankah
masa depan selalu tunduk pada langkah,
hanya bila kau menganggapnya tiada?
Bersyukurlah saja,
kau bukan perempuan semenjana
yang diciptakan cuma sekedar
jadi pengutip mimpi.
semarang,juli2010
Senin, 19 Juli 2010
Merangkul Waktu
: Koelit Ketjil
adakah ijin bagi waktu
sebentar saja
berhenti di terang air mata
tempat kebahagiaan jadi sungainya
adakah ijin bagi waktu
sebentar saja
agar terhenti di sebilah cerah
terangkan jalan hingga ke ujung
memang nyatanya,
ada hujan datang di kemarau
ada anak nangis teriak parau
keadilan dilipat samar terlihat
kedamaian diacak biar minggat
juga ada,
cahaya langka jadi seterang kemewahan
ledakan tabung jadi genderang kemegahan
maka mari merangkul waktu
yang ngerti indah itu satu
dimana tangan tangan terulur
dimana sulur sulur doa tersalur
dan ketika lebur
waktu terhenti
bagi berdua
2010
adakah ijin bagi waktu
sebentar saja
berhenti di terang air mata
tempat kebahagiaan jadi sungainya
adakah ijin bagi waktu
sebentar saja
agar terhenti di sebilah cerah
terangkan jalan hingga ke ujung
memang nyatanya,
ada hujan datang di kemarau
ada anak nangis teriak parau
keadilan dilipat samar terlihat
kedamaian diacak biar minggat
juga ada,
cahaya langka jadi seterang kemewahan
ledakan tabung jadi genderang kemegahan
maka mari merangkul waktu
yang ngerti indah itu satu
dimana tangan tangan terulur
dimana sulur sulur doa tersalur
dan ketika lebur
waktu terhenti
bagi berdua
2010
Sabtu, 17 Juli 2010
Satria Kecil Belajar Cinta
ingin temukanmu,
lelaki kecilku
dan mengacak rambutmu
atau memelukmu
sepenuh sayang
betapa bodohnya kau
tak manfaatkan waktu kenal cinta
betapa bodohnya waktu
tak mengajakmu bertemu seribu ia
dimanakah kau, satria
ada bapa ada ibu yang kau jaga periuknya
ada bocah tiada bapa tiada ibu yang kau jaga hidupnya
lihat, perkara besar kau sanggup pikul
lelaki kecil bikin bangga
sampai lupa kisah sendiri
cinta sekali tumpah
di pangkumu yang ringkih
aduh tersengat sakit
lalu buatmu sudah
kau mesti belajar
cara memeluk luka
ciumi saja rasakan saja
tanpa jera
jangan jera
sampai kau temukan
senyatanya sengatan
adalah rajam
yang dewasakan
bentuk cinta
satria kecil,
pandanglah dengan berani
meski kau gagal sekali
kau tidak tamat sama sekali
2010
Malam di Perempat Jalan
: Kika
jika hari ini
kesepian batal pergi
mungkin karna ia
diam diam cinta
padamu, yang tersendiri
ia lekat seperti lintah
namun enggan mengisap
malam paling sunyi paling suci
milikmu, yang kau peluk
erat
erat
sampai menetas cahaya
mungkin juga ia ngerti,
diam diam kau rindukan ia
datang mengurai rambutmu, atau
sekedar dengarkan sebongkah galau
sembari duduk, ia salurkan
kekuatan agar terpecah
lewat teriak
mu
1707.2010
jika hari ini
kesepian batal pergi
mungkin karna ia
diam diam cinta
padamu, yang tersendiri
ia lekat seperti lintah
namun enggan mengisap
malam paling sunyi paling suci
milikmu, yang kau peluk
erat
erat
sampai menetas cahaya
mungkin juga ia ngerti,
diam diam kau rindukan ia
datang mengurai rambutmu, atau
sekedar dengarkan sebongkah galau
sembari duduk, ia salurkan
kekuatan agar terpecah
lewat teriak
mu
1707.2010
Selasa, 23 Maret 2010
Rasa yang Duduk Disampingmu
:Inez Pecia Zen
mengapa aku begini sedih
lihat duka tepuk bahumu
beruntun tak mau tahu
kembali kala pertama disapih
mengapa aku begini sakit
menyatu dekat pada derita
di sabarmu yang makin renta
bahagia serasa makin sedikit
mengapa aku begini pedih
pandangi kau bergelut makna
berdiri bangkit, lalu kuat menganak
sedang dadamu tersayat perih
lalu, mengapa aku begini murka
tarik dirimu cari keadilan
ketegaranmu itu samudera
bening hatimu bukan buatan
ah, kurayu saja Tuhan
peluk engkau jalani proses menerima
lalu lekas ajak kau ke masa depan
saat kautemukan dirimu mengaca
lalu puas tertawai
dukamu pada kini
2009
mengapa aku begini sedih
lihat duka tepuk bahumu
beruntun tak mau tahu
kembali kala pertama disapih
mengapa aku begini sakit
menyatu dekat pada derita
di sabarmu yang makin renta
bahagia serasa makin sedikit
mengapa aku begini pedih
pandangi kau bergelut makna
berdiri bangkit, lalu kuat menganak
sedang dadamu tersayat perih
lalu, mengapa aku begini murka
tarik dirimu cari keadilan
ketegaranmu itu samudera
bening hatimu bukan buatan
ah, kurayu saja Tuhan
peluk engkau jalani proses menerima
lalu lekas ajak kau ke masa depan
saat kautemukan dirimu mengaca
lalu puas tertawai
dukamu pada kini
2009
Tiba Tiba 2
perjumpaan dengan Chaz!
kini, berapa mozaik kisah telah kita lompati
aku sungguh tak menghitung waktu, hingga
tibatiba
kau dalam sapaanmu mengelus kenanganku
akan persahabatan kita,
akan riuhnya kegembiraan berurai duka
saling jadi wadah sampah, yang
selalu bisa mendaur ulang
kunantikan saat bahagiamu, dan
kami lihat kau telah bahagia
bersama kekasihmu, yang kau petik
tibatiba
melenyapkanmu dari ukiran kisah kita
kami sedikit kehilanganmu, tapi
kami saling mengobati
sungguh
tibatiba
musik yang kau mainkan
terlalu jauh gaungnya bagi telingaku
masihkah kau dalam genggaman angin
yang sesekali mengibarkanmu keras, dan
kadang membuatmu oleng
masihkah kau dalam keterbatasanmu
berkawan dengan rasa sakit
namun tetap menjadikannya milikmu
asal kau masih sama, dan
kau masih saja
sama
dalam emosi yang tak kentara warnanya
dalam katakata yang tak menggema
dalam jingga jiwamu yang terbungkus kabut
dalam letupan hasrat yang tak jua kau tunjukkan
tibatiba
kau sulam pintu kesadaran kami
segala yang hidup, memiliki
udaranya sendiri.
1999, jumpa sekilas di tangga kampus, siap-siap mau kuliah, beda kelas,wis suwi ora pethuk!…
kini, berapa mozaik kisah telah kita lompati
aku sungguh tak menghitung waktu, hingga
tibatiba
kau dalam sapaanmu mengelus kenanganku
akan persahabatan kita,
akan riuhnya kegembiraan berurai duka
saling jadi wadah sampah, yang
selalu bisa mendaur ulang
kunantikan saat bahagiamu, dan
kami lihat kau telah bahagia
bersama kekasihmu, yang kau petik
tibatiba
melenyapkanmu dari ukiran kisah kita
kami sedikit kehilanganmu, tapi
kami saling mengobati
sungguh
tibatiba
musik yang kau mainkan
terlalu jauh gaungnya bagi telingaku
masihkah kau dalam genggaman angin
yang sesekali mengibarkanmu keras, dan
kadang membuatmu oleng
masihkah kau dalam keterbatasanmu
berkawan dengan rasa sakit
namun tetap menjadikannya milikmu
asal kau masih sama, dan
kau masih saja
sama
dalam emosi yang tak kentara warnanya
dalam katakata yang tak menggema
dalam jingga jiwamu yang terbungkus kabut
dalam letupan hasrat yang tak jua kau tunjukkan
tibatiba
kau sulam pintu kesadaran kami
segala yang hidup, memiliki
udaranya sendiri.
1999, jumpa sekilas di tangga kampus, siap-siap mau kuliah, beda kelas,wis suwi ora pethuk!…
Tiba Tiba 1
akhirnya, dari sini dapat kulihat
heningmu yang begitu senyap, dan
tawamu yang tak seutuhnya
selama derai waktu ini
adalah gelisah rindu
merangkul helai jiwa kekasih, yang
ingin kau nyanyikan
tibatiba
Kampus, 1999
Kulihat Samaran Gundah di Wajahmu
:Chaz
kau duduk pada malam sendiri
pandangi langit yang bukan biru
sadari hidup kini berjalan di kakimu
kurang indah dan sedikit berdebu.
mentari jadi terlalu bercahaya, dan
sinarnya tak mampu menghiburmu
kau hanya yakin satu, hidupmu sudah hancur
terbakar oleh teriknya
lalu kau lihat jalan menjauh, dan
sedikit tergoda tuk berada
diatasnya.
hei, kawan!
birunya kehidupan takkan pernah tersapu indahnya
meski debu kelabu bersarang di dalamnya
karna pelangi adalah harapan
kepada siapa
kita ingin berpihak …
kelak lagi,
jika kau temukan dirimu dalam
pelukan badai
jangan jadi ragu dalam tangis yang murka
injak dunia dengan caramu
karna kau adalah dirimu
dan bintang itu selalu ada untukmu.
untukmu.
untukmu.
Bandungan petang, rapat kafe daun, 1997
kau duduk pada malam sendiri
pandangi langit yang bukan biru
sadari hidup kini berjalan di kakimu
kurang indah dan sedikit berdebu.
mentari jadi terlalu bercahaya, dan
sinarnya tak mampu menghiburmu
kau hanya yakin satu, hidupmu sudah hancur
terbakar oleh teriknya
lalu kau lihat jalan menjauh, dan
sedikit tergoda tuk berada
diatasnya.
hei, kawan!
birunya kehidupan takkan pernah tersapu indahnya
meski debu kelabu bersarang di dalamnya
karna pelangi adalah harapan
kepada siapa
kita ingin berpihak …
kelak lagi,
jika kau temukan dirimu dalam
pelukan badai
jangan jadi ragu dalam tangis yang murka
injak dunia dengan caramu
karna kau adalah dirimu
dan bintang itu selalu ada untukmu.
untukmu.
untukmu.
Bandungan petang, rapat kafe daun, 1997
Jumat, 12 Februari 2010
Tentang Kau
rindu mencabik jiwa
kala muram tembakau
yang kau kulum
makin tak keruan bentuk rupanya
"aku hanya berharap, waktu
mengusung gelisah jadi lusuh,"
bisikmu sayup
ada angan
tak kesampaian
menjebak ingatan
terpasung di kesepian
hasrati peluk yang tercinta
menjelma urat di lehermu
sambil sendirian nikmati pilu
kau pergi berlalu
aku takut gelisah itu benar benar lusuh
tembakau
tak pernah terbakar
rinduku
makin mengakar
Semarang,Peb10
Selasa, 19 Januari 2010
Serupa 'White Crime' Aroma Tubuhmu
serupa tawa. gigigeligi tanpa malu berhambur pamer diri
serupa hati. lidah jiwajiwa bertaut nyaring bercerita ramai
sebentuk kisah kau juga dia selusuri persahabatan
begitu erat menghangat lebihi jabat tangan
serupa tangis. ada rembes air diujung dahan padi
serupa resah. tidurtiduran gelisah mendesah separuh asa
kulihat aku. tunggui setiamu di titian hari
bawa pulang wewangi damai bagi rumah kita
ijinkan aku bermenung sendu
batas kawan berkawan ngertikah kau
berikut sulur siratan aturan itu
kala kau berdansa dengan kaumku
sedang seluruhmu mengikat padaku
adakah serupa sadar tanpa pudar, bisa
kuharap tinggal di ceruk hatimu yang paling sunyi
jejak yang kau tinggal itu pusat segala
kisah hidup anak beranak kita esok
jangan pernah beri aku putih
bila serupa hitam tak kentara
2009
sebuah tepuk di pundak sahabat
Rabu, 10 Juni 2009
Lukisan Lugu
untuk seorang teman, obat stress manusia
marahmu terbungkus oleh senyum
yang kau tebarkan pada langit sunyi
peranmu tak kentara, tapi terasa hangatnya
kau adalah satu titik dalam sebuah garis,
dan satu garis dalam goresan gambar.
tanpamu,
garis dan gambar tetap ada, tapi
tiada sempurna indahnya.
Rintik Semarang, kafe daun, 1997
marahmu terbungkus oleh senyum
yang kau tebarkan pada langit sunyi
peranmu tak kentara, tapi terasa hangatnya
kau adalah satu titik dalam sebuah garis,
dan satu garis dalam goresan gambar.
tanpamu,
garis dan gambar tetap ada, tapi
tiada sempurna indahnya.
Rintik Semarang, kafe daun, 1997
Kau dan Kekasih
(pada ibadat pemakaman bapak sobat kita, wulan)
kita bertemu, kau dan kekasihmu,
dan diriku,
dan deretan kawan sejiwa
berboncengan membelah malam gulita
menuju rumah sahabat sedang
muram memeluk air mata
yang sebagian telah ditabur bagi ayahanda
di atas kuburnya, siang tadi
malam ini, aku hanya melihat
kau dan kekasihmu
sangat sunyi, hanya ada warna biru yang dingin
bahkan ibadat duka cita ini,
lebih ramai dentingnya
lebih mesra hangatnya
seperti waktu yang sudahsudah, pada tiaptiap babak
yang menjebak pertemuan kita
kau dan kekasihmu,
sangat sunyi, hanya ada warna biru
dingin
setipis angin batasan itu terbaca
antara kau dan kekasih
Ungaran murung, Selasa, 31 Oktober 2000
kita bertemu, kau dan kekasihmu,
dan diriku,
dan deretan kawan sejiwa
berboncengan membelah malam gulita
menuju rumah sahabat sedang
muram memeluk air mata
yang sebagian telah ditabur bagi ayahanda
di atas kuburnya, siang tadi
malam ini, aku hanya melihat
kau dan kekasihmu
sangat sunyi, hanya ada warna biru yang dingin
bahkan ibadat duka cita ini,
lebih ramai dentingnya
lebih mesra hangatnya
seperti waktu yang sudahsudah, pada tiaptiap babak
yang menjebak pertemuan kita
kau dan kekasihmu,
sangat sunyi, hanya ada warna biru
dingin
setipis angin batasan itu terbaca
antara kau dan kekasih
Ungaran murung, Selasa, 31 Oktober 2000
Kenangan
(memory of kafe daun.)
masih kugenggam sebutir hujan itu
yang kusimpan dari kilauan masa lalu
saksi penggalan cerita manis lucu
sehangat kopi susu
mengalir mulus diantara bibirbibir pelanggan kafe kita
kala itu, kita hanya ingin
meletakkan tangan di ketiak kehidupan
rasakan alirannya, deras merengkuh dada kita
kadang jadi sesak dan kesakitan, payah
mencari arti dari bekerja
seperti menu masakan yang hendak kita racik
bergulat mencari selera, apa jua kita tlah coba
ah,
hasrat tak bernama
marah tak bertuan
tangis tak bermata
bahagia tak terkata
kita telah cicipi satupersatu, warna kita masingmasing
hati yang beradu dalam cinta yang menyendiri
inilah irama lagu kita
dan, jika akhirnya kita berkumpul
bicara tentang perpisahan
tuk tempuh hidup masingmasing
berpencar ke segala arah mata angin,
aku tak salahkan apapun
dulu kita masih lugu
bagai separuh bait lagu
belum tahu arti perjalanan
untung aku masih menyimpannya
sebutir bening hujan masa itu
yang kucuri dari Tuhan, agar kudapat puas
memandanginya dalam rindu yang haru
pada segala masa
kapanpun, semau warna hati.
Semarang - 2004
masih kugenggam sebutir hujan itu
yang kusimpan dari kilauan masa lalu
saksi penggalan cerita manis lucu
sehangat kopi susu
mengalir mulus diantara bibirbibir pelanggan kafe kita
kala itu, kita hanya ingin
meletakkan tangan di ketiak kehidupan
rasakan alirannya, deras merengkuh dada kita
kadang jadi sesak dan kesakitan, payah
mencari arti dari bekerja
seperti menu masakan yang hendak kita racik
bergulat mencari selera, apa jua kita tlah coba
ah,
hasrat tak bernama
marah tak bertuan
tangis tak bermata
bahagia tak terkata
kita telah cicipi satupersatu, warna kita masingmasing
hati yang beradu dalam cinta yang menyendiri
inilah irama lagu kita
dan, jika akhirnya kita berkumpul
bicara tentang perpisahan
tuk tempuh hidup masingmasing
berpencar ke segala arah mata angin,
aku tak salahkan apapun
dulu kita masih lugu
bagai separuh bait lagu
belum tahu arti perjalanan
untung aku masih menyimpannya
sebutir bening hujan masa itu
yang kucuri dari Tuhan, agar kudapat puas
memandanginya dalam rindu yang haru
pada segala masa
kapanpun, semau warna hati.
Semarang - 2004
Langganan:
Postingan (Atom)