Senin, 20 Agustus 2012

Puisi Bagi Perempuanku

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
demi ambisi kekayaan dan kekuasaan
atau popularitas dan kehormatan

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
padahal ia, masih bisa memilih
mau tidur atau berdiri

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
kepada uang lelaki lelaki wangi
di ranjang ranjang mewah tanpa derit

aku tak punya puisi
untuk yang menjual diri
agar eksis tampil di tivi
bagai bintang selebritis

tidak

puisiku untuk para perempuanku
yang dipaksa lalu terpaksa
membantu negara dengan lendir murka
karena telah dimiskinkan negaraku

mereka yang selalu tersiksa oleh kejatuhannya
di setiap malam-malam penuh peju peluh
tapi hidup harus berjalan meski bukan (di) jalanannya
ya, lebih baik daripada hidup penuh kelu keluh

mereka yang pergi diantar para suami
lalu sesampainya di rumah, dihajar karena cemburu
mereka yang pergi dihantar ayahbunda
lalu sesampainya di rumah, tersedu jiwa hancur

sungguh terpaksa jual diri, di lapak-lapak kumuh
layani lelaki penuh penyakit dan miskin bau
di atas papan-papan selebar peti jenasah
dan menyewa kardus sebagai alasnya

o, demi Tuhan

aku hanya punya puisi
dan masih kesulitan
membuat bangsa ini membelamu
sebagai ibu bermartabat
karena tak menagih janji negara
yang telah lalai
atas nasib buruk
rakyatnya


Semarang, 2012

Hutang Budi Ibu


Belahlah aku ibumu,
ibu yang tak sempurna.
Belalah hakmu, anakku
anak yang selalu sempurna,
di mata ibu
di mata ibu.

Bukan kau, tapi Ibu
yang hutang budi
di dunia ini
lahirkanmu adalah
kutukan pertama kehidupan
yang bagimu, kuberikan.

Maaf, maafkan ibu
bila dunia, tak bisa kujanjikan keindahannya
tak sanggup kutagih kekuatannya untukmu
agar kau dapat melawan balik,
atau setidaknya berjalan bersama
tapi malah,
kesemuanya bagimu, jadi
terlalu memerahperihkan. Maka.
Maafkan Ibu.

Nak, bila kau pilih
jalani hidup sebagaimana adanya
tanpa ingin sengaja mengakhirinya di tanganmu sendiri
meski rusak, luka kelam, terselip tak terperi
ketahuilah,
saat itu hutang budi Ibu mulai terlunasi
berkat semangat memanggul hidup
yang nyasar.


Semarang, 2012

Lobi Lobi Laba Laba


Bibir kita berpelukan
mata mata redup
seperti keasyikan menyeruput kopi panas
dari cangkir tanpa diseduh.

Ini malam gelapku, bukan gelapmu
dan tanganmu rakus menjarah
tubuh ringkih. Gerayangi sarang,
aku binal karna amarah.

Andai saja,

kutemukan cara bersih keluar dari belenggu negeri
dengan tidak melayani
nafsubejat pejabat negeri
tentu akan mudah
melepaskan bibir-bibir ini
dari penguasa sepertimu.


Semarang, 2012

Dari Lelaki Aku Belajar


Aku belajar dari lelaki
luweskan rasa luaskan pikir
bagaimana cinta dan nafsu berpisah tebing
dan tubuh yang telanjang hanya perlu dinikmati.

Aku belajar dari lelaki
bagaimana kaumku bertarung otakhatinya
antar akal dan rasa,
dan lelaki selalu menang dengan akalotaknya.

Aku belajar dari lelaki
bahwa luka adalah dendam
seperti kemiskinan yang menginjak
harga sebuah diri
harus disangkal dan diasingkan
naluri bertahan hidup ada disana
daya tawar luar biasa.

Aku belajar dari lelaki
betapa arogansi telah menahan air mata
turun dan jatuh ke dada
menuding kelemahan
yang tak boleh ada.


Semarang, 2012

Jarak Kebebasan Ibu


Hidup itu pilihan,
namun tidak untuk Ibu.

Sayap-sayapnya hanya mampu
menerbangkan ibu
setinggi rantai yang
terikat di kakinya.


Semarang, 2012

Emansipasi Semu


Seperti si putri 
yang ngotot kencing berdiri
agar sama setara
dengan si putra,

atau seorang anak
yang ngotot berteriak, “Itu Bapak!”
pada artis di layar kaca
hanya karena sama berkaca mata.

Demikian seringnya saya
terjebak pada kebaya
‘Kartini’ separuh baya
keliru berpegang pada yang maya.


Semarang, 2012


Pasar Neraka Merdeka


Jika datang ke negeriku, Tuan.
Jangan lupa mampir ke pasar
Pasar Neraka Merdeka namanya
tempat rakyat gadaikan kejujuran
karna negara mulai lupa
pada nasib negeri yang perlu digarap
dengan sergap
dan tanggap
segera sigap
segera siap
segera!
Mana?

Disana ada penguasa membunuh penguasa,
penguasa membunuh rakyat
ada rakyat membunuh rakyat
dengan sepenuh senyum dan tawa
perlahan tanpa beban
atau rasa bersalah.

Nurani pergi subuhsubuh tinggalkan pasar.
Untung dan laba jadi sumber kehidupan.

Petani dan pengusaha takut
makan makanan dari hasil ladangnya sendiri
yang telah mereka dagangkan dalam pasar
selamat tinggal nurani kalut.

Ada borak dan rhodamin
sakarin, melamin, dan formalin
atau bahan berbahaya lainnya
tersaji di meja makan kami
diam-diam mengendap memenggal nyawa.

Lewat bahan makanan, Tuan
kami terbunuh perlahan
kesadaran merayap pilu
terbiasa berpasrah keliru.

Maka, Tuan.
Bila mau bertahan hidup di negeri begini,
makanlah saja untuk mati.


Semarang, 2012