Tampilkan postingan dengan label Rumah Kecil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Kecil. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Oktober 2012

Hari yang Patah Berjalan


Kepadamu, yang ingin sendiri. Tapi. Menolak kesepian.

Ada risau di hari anak. Kemana kau, batang tubuh yang lelap dan lenyap? Yang. Sempat membantuku dan Tuhan melancarkan ide gila dari sebuah kesepian? Lalu. Kita bersekutu masuk dan menggoda jalan lahir milikku. Kalian goncang-goncangkan, hingga aku kegelian. Tertawa-tawa kita, mencipta embrio.

Aku tak butuh Tuhan, hanya kau. Namun. Setelah hari kelahiran, kau ikut menjelma Tuhan. Meminta kami merasakanmu. Cukup. Lewat angin yang membelai rambut. Mendinginkan leher. Mengeringkan keringat dan airmata. Juga. Menerbangkan topi anak kita. Hilang.

Aku mencarinya setiap hari, kelabakan. Atas usulan rengekan deras dan keras. Terkadang. Memotong sumbu kesabaran. Terus. Mencekik leherku. Terus. Memukul dadaku. Sesak panjang di hari yang patah. Terus. Berjalan.

Perlu kau ketahui. Kuterapi diriku sendiri, agar aku menjaga jarak dengan kematian paksa. Agar kukuh. Bersetia membasuh ketenangan, di tubuh gadis kecil kita. Dan. Berupaya kucegah amarah kecewa sesah tumpang tindih. Atau. Setidaknya, api tak cepat menyambar benda-benda sekitarnya, lalu berkobar besar. Aku. Pilih menembak jiwaku dengan salju.

Kalian.Tuhan dan engkau. Mengapa bersekutu, mencintai kami? Hanya.

Dari kejauhan.


23Juli12

Jumat, 23 Maret 2012

Bingung Pagi Pagi

Anakanak bingung,
siapa orang tuanya?
Ibu, atau
ibunya ibu.

Seorang ibu bingung,
siapa dirinya?
orang tua, atau
seorang anak.

Bapak?
Berserakan dikejutkan oleh waktu,
menyingkir dalam dalam. Ambigu. Dilema.
Teriakan teriakan. Gaduh tak tentu arah
yang bingung.
Bikin linglung. Lalu limbung.
Pagi pagi pilih pergi.
Dini dini lipat layar kemudi.

Sebab seorang ibu telah lama memilih bunuh diri,
minum racun ibunya,
mati.

Rumah bukan lagi ruang,
tak ada alasan pulang.


Semarang,23Maret12

Selasa, 16 Agustus 2011

Renang Kenang

Aku berenang
di laut kenang
kala,

membuka lemari tua
pakaian papa rapi tertata
masih
kenang berenang fasih.

Kutarik sebuah kaos putih
kupakai sambil berenang
melekat rapuh dan rapi
ada papa di dalam kenang.

Pipihatiku, pernah ditampar papa.
Setelahnya disayang sayang.
Tangisku ditimang timang
sampai kantuk tersampir
di pundak papa.

Ketakberdayaan angkuh
aku takjub sungguh.
Kita, mungkin memang miskin
tapi tak compang camping.

Aku mati karena perbuatannya
aku hidup dari kata katanya

papa lebih tampan dari mama
papa lebih cantik dari mama


senyatanya hanya kata
warisan ampuh
bagi sembuh
lukaduka.

Air kenang berlinang
aku harus terus berenang
menuju tepi, segera
halau rindu
halau rindu,
aku terseret kenang.


01:15WIB11juli11

Selasa, 23 Maret 2010

Kepada Langit, Kukirimkan Bumi

:sahabat kecil, Airlangit Savana dan Puan Swasti Bumi

berselimut pagi petang
beralas darat lautan
berpayung matahari bulan gemintang

rangkulah sedih sepi setia bersama
urai luka dukanya hidup
lalu tebarkan lekas sepenuh tawa

bertengkarlah dalam diskusi mendewasakan
demi gelisah akan kebenaran
tanpa terbawa belenggu rasa

jadilah pembawa damai dimanapun
bagikan harapan suci
pada alam semesta dan seisinya

Wahai Langit dan Bumi,
bersekutulah senantiasa
nikmati tugas kehidupan


hingga kelak,
langit dan bumi
menyatu


2009

Senin, 23 November 2009

Cium untuk Papa


tak ada itu rasa kehilangan
pada akhir kisahmu
tak ada itu
dan aku berada dalam kegelisahan

aku pernah katakan padamu sekali waktu
"hambar
datar
tawar
dapat kuberi kali ini
padamu yang jatuh terkulai
sebentuk cinta yang sayu
siap nyanyikan lagu lelayu"

aku juga pernah bilang padamu
"biar
kurapihkan sedikit
luka batin yang berserak
tiap pandangi awan berarak
hatiku tersengat sakit"

kau tinggalkan aku sekali lagi
tak ada alasan kuratapi

lalu bila mata mata mata tertuju padaku. jahat.
akankah buatmu suci
kala kembali ke liang lahat?

sungguh menyedihkan nasibmu di ujung mati
cintai bayangan kaktus yang entah cintakah?
dan bersandar pada mawar yang ternyata plastik
terjerembab pada kerakal kehidupan
amuk gelombang kau akrabi

aku tak kehilanganmu, seperti tangis di ujung mata
aku tak rindukanmu, seperti nyeri di ujung tawa

sudahlah
akan kuterima mudah
segala lelah, juga timbunan kesah
jika menjadi kehendak


23Nop09,Senin

Sabtu, 21 November 2009

Anak Perempuan Pandangi Ibunya


ibu
katakan pada ayah, aku damba kuat beringin
setia jagai rumah yang berlindung dari gerah
lekas, katakan pada ayah
sebelum kepulan angan lenyap mendingin

mengapa kau begitu plastik

ibu
sampai dimana setiamu tunggu
sesobek awan sejukkan tubuh
sedang angin tak mampu basuh
rasa rindu yang mulai payau

mengapa kau begitu karet

ibu
jangan membeliak padaku begitu
bila kukata hormatku tlah berpulang
beribu malam tak bilang pulang
tanpa sesal jatuh di kalbu

mengapa kau begitu kertas

ibu
aku butuh pasti, bukan palsu
atas wajah tegar dan sabar
tutup mata terima nasib
sedang lepuh kulitmu penuhi lengkung hati

mengapa kau begitu wanita

diujung pengabdian diri
kesulitan tentukan nasibmu sendiri
tunggu takdirmu ditangan itu lelaki
buang
daur ulang
daur ulang
buang

bukankah sudah kuciumi dengan tekun
jejak air dari matamu yang mengering?


ah, ibu!
kau buat takutku yakin makin menjadi,
bila terlahir sebagai perempuan
adalah sebuah dosa asal


19Okt09,senin

Selasa, 25 Agustus 2009

Pada Ayah, Aku Mengerti


Kutahu. Seekor ranting jati cangkuli rasamu. Ribuan cahaya
hingga darah keluar dari dasar. Melarva
Lalu kau berontak mencari langit
sesaat. Kau temukan dalam kuntum mawar plastik
Kau pikir indahnya dari langit
Kira kau itu wangi dari langit
Kau pikir kira kau itulah langit
Dan. Ranting duri itu pula cangkuli asa. Mengikat lelahmu
hingga menjejal ruangmu, untuk bercinta pada bayangan kaktus
hingga juga kau bertanya menabik langit.
Dan. Temui kembali ranting jati, yang tlah lama beriku sari
Kau pikir derita maunya langit
Kira kau itu restu langit jadi jawaban
Kau pikir kira kau itulah langit
Kulihat. Jelitamu lepas satupersatu mengerucut
ranting jati masih cangkul habis dasar jinggamu jadi abu
Jawab lekas. Jika kuhabisi kuat dan kelam jati. Hingga musnah habis
akar getahnya. Dan kukatakan aku tak suka sarinya.
Akankah langit duduk disebelahmu. Untuk serukan kuatkuat
bahwa musim hijaumu akan segera subur

Dan. Kau tinggal segala hutan mengaum
Berjalan pada sebatang bambu bercahya petir bijak
sendiri. Bercengkerama dengan langit

tanpa ampun



Semarang – 2004