Tampilkan postingan dengan label Tuk Manusia Kaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tuk Manusia Kaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 04 September 2016

Pemenang Dunia


(…untuk seorang manusia di pinggir jalan Jatingaleh dan mereka menyebutnya ‘orang gila’)

duduk gembira pada sepiring dunia
bercanda tawa pada segala alam berasap
kerikil tajam penusuk surganya, memuai dalam keakraban
jadi sobat rekat bercengkerama dengan luka

aku iri pada damainya
karna nestapa pada pundakku, menyisakan luka bernanah
lelah kugaruk jalan panjang, tetap tak kutemukan
sepotong tawa dalam cawanku
seperti miliknya

aku cemburu karna riangnya menyayat tajam kicauku
kuikuti zaman dalam petang tubuh dekil, sambil kujilati aroma mimpi jingganya
berjalan tanpa beban ke ujung atmosfir bumi, ia tak peduli apapun menjauhi
hanya pancaran wajah tulus menyapa segala yang ia jumpa

dalam ribuan detik: telanjang tiada ia kedinginan,
sendiri tiada ia kesepian,
disakiti tiada ia terluka,
ia rangkul segala dingin, sepi, dan luka
dalam hangatnya secangkir bahagia yang ia racik

oh, inikah letak jarum keadilan
saat dunia direnggut darinya tak bersisa
Tuhan masih memberinya sepiring
mampu cairkan segala rantai yang telah jadi belenggu,
merdeka lepas dalam samudera baru
hingga ke waktu tak berujung


Semarang, 2004

Kamis, 05 Januari 2012

Nyali Api, Nyala!!
: Sondang Hutagalung

Dilarikan dari kerumunan,
tubuh berpindah pindah
tergesa
masuk mobil
keluar
lorong rumah sakit
menuju hiruk pikuk
dan sibuk
dalam unit gawat darurat.

Cairan entah
siram sirami
luka bakar
di  wajahtubuh.
Ujung pinset
mengelupaskan
lepuh dari kulit
perlahan
sesayat demi sesayat
giris perih
mendekap mata.

Ah, hanya luka bakar ringan,
dari sebuah kecelakaan,
di masa lewat.
Jauh,
tingkat luka
jauh dari sembilan puluh delapan persen, 
dan nyali ini begitu ciut,
sekuatnya ingin kulupa.

Namun ingatan selalu kembali,
pada lukabakar lukabakar massal
lewat tragedi Bom Bali.
Lewat musim ledakan tabung gas
membakar tubuh keluarga kelas bawah.

Tiba-tiba, berdiri di atas negeri
seorang anaknya membakar diri
detik detik api panaskan tubuh
sakit itu perlahan datangnya,
dan aku tak diijinkan lupa!

Kisah perjuangan yang timpang
mestinya sanggup membawa jiwa jiwa
ikut membara
merebut ruang
bagi keadilan.
Meski hanya kita lemparkan
beberapa ikat rambutan
tanpa lewat diskusi diskusi panjang,
ke tubuh perjuangan,
atau membuat sekedar sajak
meski tak sebaik karya Taufiq Ismail,
setidaknya kita berani peduli
kemana mesti berpihak.

Nyali api, nyala!
Nyali api, nyala!!
Mungkin belum untuk revolusi
atau ciptakan gelombang besar
paling tidak
semua orang sontak keluar
dari ruang-ruang nyaman
dari ruang-ruang aman
dan kita rebut sedikit ruang
untuk melawan lupa!

 
Semarang, 15Des11

Minggu, 16 Mei 2010

MENOLAK LUPA!


kulihat poster poster bergambar Munir
MENOLAK LUPA!
tegas terbaca
di gang gang di jalan jalan tercium bau anyir

diingatkan Mei
dimana mana kemana mana
dari masa ke masa
dehumanisasi terus terjadi

yang hidup
dipaksa mati
yang hilang
tak kembali

apa yang bisa kubuat?
dengarkan suara korban?
sebarkan kisah mereka?
dalam bentuk apa saja kubisa?

Elie Wiesel bilang,
“Mari merebut ruang,
agar kata kata terakhir
tidak dikuasai pelaku
tapi jadi milik korban!”

Jogjakarta, 2010

SandraPalupi

Jumat, 12 Maret 2010

Y. B. Mangunwijaya (Mimpi Bertemu)


sungguh,
aku tak pernah tahu, bahkan bertemu, bahkan bercengkerama
tertidur berpeluh mimpi, suatu malam yang sembunyi
dalam buaian halus sayap sofa violet

manusia berwajah samudera,
keluar dari penjara yang terpaksa
ditandu puluhan pemuda berwajah dendam dan kasih,
setelah para domba bersisik ular itu menyiksa tubuh ringkihnya
memotong acak benang putih rambutnya
dengan semangat api setia teguh, para pemuda itu
menggendongnya sehangat sayang
melekat erat dalam raganya, hingga pada suatu persimpangan
matanya dan takutku beradu, membawanya berhenti tepat di depanku
sedekat mataku ia berseru lantang,
sambil tangan kanannya terkepal mengacung
“ Sampai kapanpun, perjuanganku takkan pernah berakhir!”
dada ringkih membusung berlalu pergi
para pemuda bersitatap dengan nafasku satusatu
lalu dari sudut aku berdiri, kulihat jelas kedua kakinya yang menggantung
tanpa tungkai dan telapak!
kurasa sangat dengan hati pedih, domba bersisik ular itu
coba habisi ia yang tak pernah surut nadinya

tapp!!
bangun aku berkawan peluh terkait tanya membukit
kuingat ceritera kawanku beberapa purnama lalu,
sepulang dari misa requiem melepas pergi seorang tokoh bangsa
ia berkisah tentangnya dengan mata penuh embun

mendesir darahku berpadu ingatan melilit jantung
manusia berwajah samudera, melekat erat hati kita
nyatanya ia adalah beliau, adalah engkau,

Romo.


Semarang – 2000

Selasa, 12 Januari 2010

Cinta Mati di Puncak Gunung

: Soe Hok Gie


Bersetubuh ribuan bintang aku terlentang,
tantang dingin yang bikin beku,
terbalut kabut,
terpejam pada nikmat.

Mentari hanya hayalan, namun cinta siapa nyana.
Sama hangat sama membara sama pijarnya.

Bayangmu dekat dan kuat,
erat melekat ikati tubuh kita yang pekat merekat,
kudekap cinta yang tak pernah lepas

terlempar

terhempas

lalu kandas

dan
bersamaan dengan itu,

katakata yang kau tinggalkan disini
empat puluh tahunan lalu
tetap saja kucermati.

Entah mengapa,
kau hampiri mataku yang penuh rindu, sambil
sayup Joan Baez nyanyikan Donna Donna
ikut berputar bagai gasing dibelai lilit,
berdesing nyaring beriring.

Hendak kemana menujuku kini.

Ah, tetap saja.
Pilihanku bersamamu,
kala mati muda jadi kebahagiaan
menyepi berjanji misteri.

Pantaskah, Gie?

Kuharap di bawah sana
barisan duka bergegas usai.


5Jan10,slasa