Senin, 18 Januari 2010

Tinggal Aku Sendiri


Petir kepung bumi tak berbaju. Anak anak dalam lindungan ibu. Bumi bersuka suka. Sebentar menggelinding. Tiba tiba jongkok. Lalu berdiri. Diam, teriak, sambil berlari. Tak terbaca. Tak teraba.

Aku masih ada, disini hidup.

Benda mati tertawa riang. Tak lagi terinjak malah sanggup menginjak. Injak tubuh tubuh kehidupan yang telah payah. Hawa kelewatan kecoh seluruh tulang. Sebentar terbakar, lalu dibuat beku. Sebentar kering, lalu dibuat basah. Tiba tiba.

Masih ada disini, aku hidup.

Lambung giling udara kosong. Tersebar kelaparan yang seragam. Manusia jadi hewan. Hewan jadi manusia. Tumbuhan sendirian, dan makin sendiri. Air. Air. Yang hidup berebut air. Epidemi dimana mana kemana mana. Terbang, hinggap. Hinggap, terbang.

Aku ada disini, masih hidup.

Bulan bintang lengah berjaga. Matahari bumi saling mendekap. Udara penuh warna dan bau. Bikin sesak dan siksa. Hijau bumi, ganti merah kehitaman. Mayat mayat tumbuh dari yang terpaksa mati. Jadi hiasan bumi, tanpa dikebumikan.

Masih disini aku, ada hidup.

Aku sendiri dan sakit. Kesepian tak sempat datang. Aku kelelahan, nikmati luka satu satu. Perih panjang tak selesai. Ada darah. Ada borok. Ada belatung. Tubuhku sulit terurai. Tiada daya, tapi tak juga mati.

Mengapa masih ada aku, tuk saksikan semua ini?

Mengapa masih disini aku, tuk saksikan ini semua?

Mengapa masih hidup aku, tuk saksikan semua ini?

Ampun, Tuhan.
Aku tak ingin hidup seribu tahun lagi.


Jan10,Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar