(…untuk seorang manusia di pinggir jalan
Jatingaleh dan mereka
menyebutnya ‘orang gila’)
duduk
gembira pada sepiring dunia
bercanda tawa pada
segala alam berasap
kerikil tajam
penusuk surganya, memuai dalam keakraban
jadi sobat rekat
bercengkerama dengan luka
aku
iri pada damainya
karna nestapa pada
pundakku, menyisakan luka bernanah
lelah kugaruk jalan
panjang, tetap tak kutemukan
sepotong tawa dalam
cawanku
seperti miliknya
aku
cemburu karna riangnya menyayat tajam kicauku
kuikuti zaman dalam
petang tubuh dekil, sambil kujilati aroma mimpi jingganya
berjalan tanpa
beban ke ujung atmosfir bumi, ia tak peduli apapun menjauhi
hanya pancaran
wajah tulus menyapa segala yang ia jumpa
dalam
ribuan detik: telanjang tiada ia kedinginan,
sendiri tiada ia
kesepian,
disakiti tiada ia
terluka,
ia rangkul segala
dingin, sepi, dan luka
dalam hangatnya
secangkir bahagia yang ia racik
oh,
inikah letak jarum keadilan
saat dunia
direnggut darinya tak bersisa
Tuhan masih
memberinya sepiring
mampu cairkan
segala rantai yang telah jadi belenggu,
merdeka lepas dalam
samudera baru
hingga ke waktu tak
berujung
Semarang, 2004